
PCM GKB – Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dr. Mundakir S.Kep. Ns. M.Kep. mengurai makna self-consciousness bagi para pendidik di Pengajian Ramadan Pengajian Ramadan 1446 H di Masjid Taqwa SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik, Sabtu (22/3/2025).
Dalam Kajian yang diselenggarakan oleh Majelis Dikdasmen dan PNF PCM GKB Gresik ini, dia mengatakan dari kegiatan semacam ini manfaatnya bisa meningkatkan konektivitas, yang mungkin dulu jarang ketemu, dengan kegiatan ini bisa ketemu.
Menurutnya, pengajian juga bisa menjadi sarana healing yang akan menyehatkan jiwa. “Dengan ketawa lama tidak ketemu itu healing. Hormon positif meningkat, hormon negatif menurun,” imbuhnya.
Mundakir lantas mengungkapkan bahwa self-consciousness hampir sama dengan self awarness yang bermakna kesadaran diri. Self awarness menurutnya terkait dengan kesadaran diri untuk mengenal diri sendiri tanggung jawab terhadap diri sendiri. Adapun self-consciousness kesadaran diri yang terkait dengan tanggung jawab eksternal, yaitu tanggung jawab kepada Allah SWT.
“Namun self-consciousness agak berbeda, ada hubungan dengan eksternal,” tegasnya.
Menurut Mundakir, dalam Islam self-consciousness diwujudkan ketika seseorang menjadi orang bertakwa dan pribadi yang Ihsan. Dia menukil sebuah hadis.
الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك
“Ihsan itu ketika kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu,” ucapnya menerjemahkan hadis riwayat Imam Muslim tersebut.
“Kalau menjadi pribadi yang Ihsan itu kalau mau melakukan apa-apa bukan karena manusia tapi karena Allah,” tuturnya.
Mundakir lantas menjelaskan faktor yang mempengaruhi self-consciousness. Di antaranya adalah faktor pendidikan dan pemahaman agama.”Karena di pendidikan kita diajarkan nilai-nilai yang baik,” ucapnya.
Sebagai seorang Rektor, Mundakir berpesan bahwa tugas pendidik adalah menumbuhkan self-consciousness siswa ataupun mahasiswa. Ia pun mengaitkannya dengan deep learning.
“Deep learning mempelajari secara mendalam. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana siswa menyadari tanggung jawab belajarnya. Maka mendidik itu bukan hanya mengembangkan akal dan rasional, namun bagaimana menyentuh qalbunya,” jelasnya.
Mundakir lantas menukil terjemah sebuah hadis bahwa di dalam diri seseorang ada segumpal darah, yang jika ia baik maka seluruhnya juga ikut baik.
Mundakir kembali menegaskan bahwa mendidik tidak hanya akal. Karena menurutnya banyak orang yang berilmu tapi hatinya tidak baik. Maka tugas pendidik adalah menjadikan peserta didik Pintar dan tidak sakit hatinya.
“Penyakit hati di antaranya pamer, Kedua, mudah marah. Makanya kita diajarkan kalau sedang berdiri dan marah kita disuruh duduk,” terangnya.
Ketiga, penyakit hati ialah tamak, rakus. Menurut Mundakir Perilaku korupsi dikarenakan sifat tamak rakus. “Guru korupsi dengan korupsi waktu atau kinerja. Jual beli nilai. Dan Manipulasi data,” ungkapnya.
Mundakir menegaskan self-consciousness yang perlu dibangun oleh pendidik ialah bahwa tanggung jawab kita bukan hanya kepada masyarakat dan orang tua peserta didik, namun tanggung jawab kita sebagai pendidik itu juga kepada Allah SWT.
“Jadikan ramadhan bukan sekadar ritual tapi sarana transformasi. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus menyentuh hati peserta didik jangan hanya akal saja,” tandasnya. (*)
Penulis Ain Nurwindasari. Editor Ichwan Arif.