
PCM GKB – Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) dan Pimpimpinan Ranting Aisyiah (PRA) Gresik Kota Baru (GKB) 4 mengadakan pengajian Sabtu Pagi (SaPa) dengan tema Dakwah Menggembirakan di Masjid At Tanwir Randuagung, Sabtu (03/05/2025).
Kegiatan yang diikuti dengan sarapan pagi berupa soto dan pembagian sayur kepada jamaah yang hadir ini menghadirkan dua pembicara sekaligus yakni Ustadz Agus Zulkarnain, Lc., M.A. dan Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Abdul Basith, Lc., M.Pd.I.
Turut hadir di tengah-tengah para jamaah tiga pengurus Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) GKB, Wakil Ketua Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah, Badrus Saleh SH MKn, Wakil Ketua Bidang Pustaka, Informasi, Media Sosial dan Pengembangan Ranting, Yudo Broto SE, dan Wakil Ketua Bidang Tabligh, Masjid dan Pendidikan Kader. Muharjo.
Setelah menjadi imam shalat subuh, Ustadz Agus menyampaikan pentingnya atau tingginya kedudukan orang yang berilmu. Sehingga ia menyampaikan orang yang berilmu meskipun ibadahnya sedikit lebih utama dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu meskipun ia ahli ibadah.
Bahkan, iblis selaku nenek moyang setan pun menangis jika orang yang tidak berilmu namun ahli ibadah meninggal dunia. Namun sebaliknya, iblis senang jika yang meninggal orang berilmu namun sedikit ibadahnya. ”Ini pun menjadi pertanyaan anak-cucu iblis dengan satu pertanyaan apakah kakek kita tidak terbalik dalam menyikapi hal ini,” ujar ustadz Agus.
Maka sang iblis pun mengajak anak cucunya untuk mengunjungi dua oarng tersebut untuk mengajukan pertanyaan yakni apakah mungkin alam dan seisi dunia ini dapat dijadikan Allah sebesar telur? Maka jawaban orang yang tidak berlimu tapi ahli ibadah adalah tidak mungkin. Sedangkan jawaban orang yang berilmu tapi sedikit beribadah adalah ini merupakan pertanyaan setan dan saya tidak mau menjawab ini sebab tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah S.W.T.
Setelah mengetahui hal ini anak cucu iblis pun paham alasan mengapa iblis bersikap demikian. “Maka godaan terbesar bagi orang yang berilmu sebagaimana disampaikan Imam Al Ghazali adalah sedikit mendengar tapi banyak bicara. Karena pada hakekatnya manusia diciptakan dua telinga tapi hanya satu mulut,’ ujarnya.

Masih terkait dengan dakwah, pembicara kedua Abdul Basith, Lc., M.Pd.I menyampaikan pentingnya mengedepankan fiqih sosial dalam berdakwah. Hal ini sebagai strategi mendekatkan diri kepada masyarakat. “Jika kita langsung bicara tentang surga atau neraka, bid’ah atau sesuai dengan sunah maka objek dakwah kita langsung menjauh dan tidak mau mendengarkan pesan kita,” kata ustadz Basith.
Tenaga pendidik Ma’had Umar bin Al Khattab yang tergabung dalam Asia Muslim Charity Foundation (AMCF) ini menceritakan pengalaman dalam menjalani program dakwah di Desa Argosari Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. Di desa ini terdapat tempat yang dinamakan puncak B.29 merupakan puncak tertinggi di kawasan lautan pasir Bromo dengan ketinggian + 2.900 mdpl.
Di desa ini sebelumnya mayoritas pemeluk Hindu dengan tempat ibadah di Pura Giri Amertha memiliki kesulitan untuk mengambil alir bersih.”Sebelumnya, warga harus berjalan sepanjang lima kilometer untuk mengambil air bersih, namun dengan bantuan donator air bisa langsung mengalir di rumah setelah diadakan program pipanisasi. Dampaknya, mayoritas warga desa menjadi mualaf dengan sisa yang beragama Hindu dua orang. Maka dakwah fiqih sosial lebih menyentuh jika dibandingkan langsung berbicara benar atau salah,” ungkapnya.
Masih di tempat yang sama, masyarakat Tengger ini pada bulan Ramadan masih merokok meskipun mengaku puasa. Setelah ditanya mereka menjawab dingin dan merokok itu kan tidak masuk dalam tenggorokan karena dikeluarkan kembali.
“Maka saya sampaikan hal ini jangan dilakukan pada bulan Ramadan di masa yang akan datang,” harapnya.
Permasalahan serupa juga terjadi di pulau Mentawai. Masyarakat yang tinggal di wilayah Provinsi Sumatera Barat ini masih mengkonsumsi daging babi meskipun beragama Islam.
“Setelah dilakukan survei, memang di pulau tersebut tidak ada pengembangbiakan kambing. Jadi solusinya adalah menyarakna masyarakat untuk mengkonsumsi babi betina dan mendatangkan kambing di pulau tersebut,” jelasnya.
Jadi dakwah Islam itu harus menghadirkan solusi sosial kemasyarakatan bukan hanya teori tentang pahala dan dosa serta surga dan neraka.
“Kita harus selalu ingat pesan Rasulullah bashiru wala tunafiru, yassiru wala tu’assiru” yang berarti “Berikanlah kabar gembira, janganlah menakut-nakuti, permudahkanlah, janganlah mempersulit. Ini adalah pesan Nabi Muhammad SAW yang menekankan pentingnya memberikan harapan dan kemudahan, serta menghindari tindakan yang membuat orang merasa takut atau kesulitan,” tutupnya. (*)
Penulis Aries Kurniawan. Editor Ichwan Arif.